Aku hidup di sebuah gubug yang menurutku layak untuk ditempati daripada harus hidup nomaden atau berpindah dari tempat satu ke tempat yang lain. Aku bersyukur bisa mempunyai rumah. Walaupun sebagian rumahku hasil dari iuran warga. Sedangkan teman-temanku yang gengsinya cukup tinggi, mereka lebih memilih mengontrak di rumah yang sangat bagus dengan harga yang mahal. Di sisi lain mereka pusing tujuh keliling karena harus berurusan dengan yang namanya utang.
Kabut tebal masih menghiasi pagi, udara dingin masih menemani tidurku yang lelap. Setiap hari aku membantu Ibu mencari barang rongsokan yang nantinya dijual kepada bang Bakhri, juragan rongsok yang terkenal di kampung kami.
Tak mau aku berlama-lama di dipan. Ku ambil handuk, berjalan ke kamar mandi lalu mandi. Tak lebih dari 15 menit aku sudah selesai dan siap berangkat sekolah. Tidak sarapan, telah menjadi kebiasaanku setiap pagi. Aku sering puasa senin-kamis, selain mempertebal iman, juga mengurangi jajan.
Jam dinding tua berwarna cokelat kehitaman telah menunjukkan pukul 05.45. Aku harus segera berangkat sekolah. Jarak antara rumah ke sekolah tidaklah jauh, hanya 5 kilometer. Namun, aku harus berpetualang dulu sebelum tiba di sekolah. Melewati jajaran hutan karet, menyeberangi sungai kecil, melintasi rawa, lalu menaiki perahu kecil yang memang sudah disediakan oleh Kepala Desa, hingga akhirnya sampai juga di jalan raya. Aku menunggu angkot kuning yang setiap pagi mengantarkanku sampai depan sekolah. Akhirnya angkot yang kutunggu-tunggu pun tiba.
“Bang stop bang!” Aku menyetopnya dengan melambaikan tangan.
Sesampainya di sekolah…
“Makasih bang!” Kataku sambil menyodorkan uang ke abang sopir angkot tersebut.
Waktu demi waktu, guru mata pelajaran silih berganti, mengajar kami tanpa mengenal lelah. Seiring bumi berotasi, waktu pulang sekolah pun tiba.
“Woi Ndu, gue titip salam aja buat Dea, ntar gue nggak ikut pramuka soalnya gue sibuk banget, ada acara… Biasalaaah anak motor” Kata Bani sambil menepuk pundakku.
“Oke.” Jawabku ringan.
Dea adalah gadis tercantik di sekolahku, entah mengapa ia sering menggodaku. Katanya, badanku bagus, berotot, dan lebih macho dibandingkan dengan Bani yang hanya bisa naik motor ugal-ugalan dan tidak mengenal yang namanya kerja keras, jalan jauh, berpetualang setiap pagi, bahkan berangkat pramuka. Walaupun aku terkadang merasa risih karena Dea sangat centil. Namun sebenarnya dia baik.
Aku tak berniat untuk pulang, walaupun hari ini adalah hari pendek yaitu Jumat, aku lebih memilih shalat Jumat di sekolah saja lalu menunggu waktu Pramuka dengan beres-beres di rumah Bulik Enah. Bulik Enah adalah adik kandung ibuku, rumah beliau di gang belakang sekolah, beliau membuka warung makan. Ibuku juga bekerja di rumah Bulik Enah, hanya membantu lebih tepatnya. Bulik Enah tidak keberatan jika setiap hari aku makan di sana gratis, tapi apa iya? Aku masih muda, aku harus mandiri, aku tidak ingin terus meminta.
Setiap orang pasti punya mimpi, seperti diriku ini. Mimpi itu ku bayangkan setiap sebelum tidur. Membuat taman air di dekat rawa bertema tradisional yang nantinya di design sedemikian rupa hingga bernuansa klasik. Sungguh impian yang indah bukan? Namun entah apa yang harus ku lakukan sekarang. Yang utama adalah tetap berprestasi di sekolah.
Waktu itu, aku pernah diramal oleh mbah dukun yang bertamu di rumahku, bahwa tanganku adalah tangan air. Pertama-tama aku memang tidak percaya. Akan tetapi setelah ku buktikan, ternyata benar juga ramalan mbah dukun itu. Aku mencoba mendekati api yang ada di dapur lalu kudekatkan tanganku. Tak lebih dari setengah meter, api itu mati secara perlahan. Dari dulu aku memang menyukai air. Sewaktu aku masih kecil, mandi di rawa selama 2 jam pun aku betah.
Hari Jumat berlalu dengan cepat, ku pandang sinar kemerlap dalam gelap, ku rasakan ributnya pohon dengan angin malam. Aku duduk di teras depan rumah sambil membawa selembar kertas dan sebatang pensil. Kutuliskan mimpiku di selembar kertas tersebut. Tulisannya begini,
Aku berutang budi sekali kepada desa ini. Rumahku dibangun dari dana masyarakat setempat. Pak Kades rela membuat perahu untuk memfasilitasi anak-anak SMA yang sekolahnya melampaui batas kampung kami. Ya Tuhan, aku ingin membalas budi kepada pak kades dan masyarakat desa ini. Sudikah Engkau mengizinkanku untuk memberi hadiah mereka sebuah taman rawa yang nantinya dapat digunakan untuk berekreasi, membangun desa yang lebih maju, dan untuk kelestarian alam.
Kata-kata itu seakan mengingatkanku tentang cita-citaku yang absurd saat aku duduk di bangku SD. Saat itu aku ingin menjadi bos seperti di televisi. Ya! Hidup mereka memang enak. Namun dibalik itu, mereka menghancurkan dunia dengan proyek-proyek yang menghancurkan kelestarian alam. Ternyata pendidikan itu bukan untuk mencari nilai, lalu mencari uang. Namun, pendidikan itu menyadarkan kita untuk merubah pola pikir. Cita-citaku yang telah ku tulis tadi, perlu perjuangan yang luar biasa untuk mewujudkannya. Setelah ku tulis kata-kata tersebut aku melipatnya dan ku buat pesawat terbang. Khayalanku begitu tinggi, apalagi tentang sebuah cita-cita.
“Pandu, wis bengi, turuo le!” Pinta Emak dengan bahasa Jawanya yang kental itu.
“Nggih mak.” Jawabku sembari menerbangkan pesawat kertas tersebut.
Aku berharap pesawat itu bisa tembus ke langit, dan tuhan mengabulkan permohonanku. Walaupun terkadang khayalan itu abnormal. Mana mungkin pesawat terbang dari kertas bisa sampai ke langit, hanya beberapa senti saja, pesawat terbang itu paling juga sudah jatuh.
Tiba-tiba angin berhembus lumayan kencang, rintik hujan mengiringi hembusan itu. tiba-tiba, Bresss… hujan deras. Aku memandang keluar. Pesawatku tak jadi terbang tinggi hingga ke langit, pesawatku hanyut terbawa angin dan derasnya hujan. Ku harap mimpiku tetap bisa diwujudkan walaupun suatu hari nanti ada kendala yang benar-benar hebat.
Ku masukkan uang seribu rupiah ke dalam celengan botolku. Di luar botol itu, ku tempeli tulisan “MIMPI PANDU”. Aku pun segera mematikan lampu bolep 5 watt di kamarku dan aku tidur.
Keesokkan harinya, Pak Bakhri, istri, dan anaknya yaitu Ratih datang ke rumahku untuk berpamitan. Mereka akan pindah rumah ke Kalimantan. Pak Bakhri pindah dinas karena beliau adalah seorang Tentara. Sedangkan bisnis rongsokannya diteruskan oleh anak pertamanya yaitu mas Dewa. Aku menarik Ratih keluar rumah selama Pak Bakhri berpamitan kepada Bapak dan Emakku, maklum Bapakku itu ketua RT di Desa kami.
“Tih, kamu kok ndak tinggal di rumah sama masmu?” Tanyaku pada Ratih.
“Aku disuruh Bapak Ndu, kata bapak, Mas Dewa nggak mungkin ngurusi aku sebagaimana aku diurus Bapak dan Ibu.” Jelas Ratih.
“Kan kamu sudah dewasa, kenapa kamu ndak bilang sama orangtuamu kalau kamu bisa dan mampu menjaga diri sendiri.” Kataku pada Ratih dengan nada agak memaksa. Jujur, aku mencintai Ratih dan menginginkan dia tetap berada di desa ini.
“Maaf ndu, aku ndak bisa” Jawab Ratih singkat.
Tak kusangka, Ratih seperti itu. apa dia tega meninggalkan aku?
Keluarga Pak Bakhri pun segera meninggalkan Desa kami, dengan mobil sedan hitam yang melaju perlahan diiringi lambaian tangan dan selamat jalan dari warga setempat. Aku hanya diam dan menatap Ratih yang diam dan menunduk di jok belakang.
Hari-hariku tanpa Ratih pun ku lalui, tak ada senyumnya yang bisa ku lihat, tak ada ramah sapanya setiap ia melihatku di depan rumah, tak ada lagi candanya saat berada di sekolah. Namun untuk apa aku harus bergalau-ria meratapi kepergiannya. Sedangkan dia sama sekali tak mencintaiku, apalagi memikirkanku.
3 tahun sudah Ratih pergi dari desa, sekolah dan kehidupanku. 3 tahun juga, aku sudah mengumpulkan investasi demi cita-cita untuk membuat taman rawa. Botol yang ku gunakan untuk menampung investasiku sudah berjumlah 5 botol. Entah sudah berapa rupiah yang ada di botolku ini. Lebih baik aku fokus terhadap kuliahku dulu.
Pagi ini, aku harus berangkat kuliah, sekarang aku hidup di Salatiga. Aku dibiayai bulik Enah untuk kuliah dan kost di universitas swasta yang ada di Salatiga. Sungguh anugrah yang luar biasa dalam hidupku.
Sesampainya di kampus, terlihat anak-anak dari fakultas teknik perindustrian heboh. Aku mendekati salah satu temanku dari fakultas tersebut yang juga sedang heboh teriak-teriak “welcome Princess Ratih.”
“Lex, ada apa to, kok pada heboh-heboh gitu?” Tanyaku pada Alex.
“Hey bro! Bakal ada bos princess Ratih dari Kalimantan yang bakal membuat proyek jalan tol. Dan melibatkan kami brooo!” Jelas Alex dengan bangganya.
“Ratih dari Kalimantan? Yang bener Lex?” Aku heran, terlintas sejenak di pikiranku sosok ratih yang meninggalkanku 3 tahun yang lalu.
“O o o, pasti elo keinget Ratih mantaaan elooo ituuuh yang dari kampung!” Jawabnya.
“Em, ya, iya sih. Lha dia juga ada di kalimantan. Tapi sekarang nggak tau sih.” Kataku sambil garuk-garuk kepala.
“Emmm, mending elo disini deh ndu. Ikut heboh rame-rame, ntar kan bakal tahu princess Ratih tu kayak gimana, kata temen-temen sih cantik dan seksi broo.” Jelasnya panjang lebar.
“Hufff.” Aku hanya mengikuti perintah Alex saja, ya karena aku penasaran. Benar Ratih yang dulu atau Ratih yang diceritakan Alex tadi.
Akhirnya, mobil Pajero Sport yang bertuliskan “Princess Ratih” pun datang. Lebay sekali, batinku. Sosok gadis bak putri yang anggun dari kerajaan turun dari mobil tersebut. Semua mata tertuju padanya. Orang-orang yang sedari tadi sibuk heboh sendiri pun mendadak speechless. Akhirnya gadis itu mendatangi Alex dan bersalaman. Dia sedikit melirikku lalu membuang muka. Alex masih tidak percaya bahwa dia telah bersalaman dengan gadis yang sangat cantik dan didambakan oleh orang-orang.
Sedikit aku melihat tahi lalat di lehernya sebelah kanan, yap! Sama seperti Ratih yang dulu aku cintai. Ratih Amalia Utari. Sempat tadi ku lihat pandangannya. Penuh dengan hal yang palsu. Apakah dia benar-benar Ratih?
Aku mengikutinya dengan berpura-pura menjadi anak fakultas teknik perindustrian. Ternyata, di dalam rapat tersebut membahas proyek jalan tol yang akan dibuat melintasi rawa Wringinputih. otak dan pikiranku mendadak berhenti menjalankan tugasnya, nafasku sedikit sesak dan aku segera meninggalkan ruangan penuh racun tersebut. Tega-teganya ia mengkhianatiku, sebenarnya aku salah apa padanya? Padahal dulu aku pernah menceritakan cita-citaku itu. ia sangat antusias mendengarkannya. Namun apa? Hanya kepalsuan belaka. Mengapa di dunia ini tidak ada yang Original! Menyebalkan.
Setelah rapat itu selesai, Princess Ratih yang penuh khianat itu menghampiriku yang ternyata aku telah meneteskan air dari pelupuk mataku.
“Pandu.” Suara itu memanggilku. Masih sama dengan suara yang ku kenal dulu. Namun saat mendengarnya, hatiku semakin sakit, dadaku semakin sesak. Aku hanya diam tak menjawabnya.
“Ndu, maaf. Maafin aku, aku melakukan ini demi tunanganku, Andre. Ia memintaku untuk mencarikan jalur jalan tol dan aku dengan bodohnya teringat rawa itu…” ia tak meneruskan kalimatnya.
Aku mencoba untuk menahan rasa yang campur aduk ini dan menjawab Ratih.
“Hm, Aku emang orang yang selalu salah di depan kamu. Aku salah apa sih Tih, sampai kamu tega menghancurkan mimpiku? Kau sudah meninggalkanku selama 3 tahun, tak cukup kau menyakiti batinku? Tiba-tiba kau datang dan menatapku dengan tatapan kepalsuan lalu membuang muka? Kau lupa pada cintaku dulu, dan sekarang aku masih mengisolasinya di dalam sini.” Kataku sambil menunjuk hatiku.
“Maaf Ndu, maaf. Aku memang tidak bisa mencintaimu dan aku hanya menjalankan perintah calon suamiku.” Jelasnya
“Itu! satu lagi yang membuat aku mati berdiri, kamu akan menikah dengan orang lain yang pandangan hidupnya bertolak belakang denganku. Aku yang cinta alam dan dia yang akan merusak alam, seperti dia yang mengambil hatimu itu berarti menghancurkan hatiku.” Jawabku. Tak sadar aku telah menangis.
“Kau… kau… aku tak tahu harus bicara apa lagi…” Kataku di sela tangisku.
Kau… Ratih Amalia Utari yang sekarang bagaikan seorang Dewi.” Ku lanjutkan dengan menyanjungnya dengan tatapan dendam.
“Ya! Kau diangkat menjadi titisan sang Dewi, Dewi Siwa! Dewi perusak segalanya.” Jawabku pergi meninggalkan Ratih.
Tuhan, ini kah jawabmu atas permohonanku 3 tahun yang lalu? Aku-hancur. Pikiran, hati, perasaan, dan satu hal yang penting yaitu mimpi. Ya! Hancur. H-A-N-C-U-R. Sekali lagi, AKU HANCUR
Tidak ada komentar:
Posting Komentar