Halaman

Rabu, 18 Maret 2015

Masker

Aku kira lantai teras rumahku ada yang merubah warnanya, tapi ketika kuinjakkan kakiku di atasnya ada sesuatu yang halus yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku segera mencari sapu untuk membersihkannya.

Aku memandang ke langit dan sekeliling, semua berwarna abu-abu. Ternyata hujan abu telah jatuh semalam. Aku keluar ke jalanan di gang ku yang masih lengang, mobil-mobil yang terparkir di teras rumah orang-orang kaya itu tidak nampak bening kacanya juga dindingnya yang biasa terlihat mengkilap.

Gunung mana yang meletus semalam? Mungkin karena aku tertidur terlalu lelap sehingga aku tidak tahu apa yang sedang terjadi. Ya, hari-hari yang kulalui akhir-akhir ini begitu berat. Masalah-masalah datang silih berganti, yang membuatku ingin segera melupakannya.

Sebenarnya ini adalah hari yang seharusnya penuh dengan warna cinta, seperti warna-warna pelangi ketika hujan telah usai dan sinar mentari memancar ke titik-titik air yang tersisa. Kenapa menjadi abu-abu? Ya, mungkin ini adalah kiamat kecil. Agar semua mahluk di dunia ini kembali mengingat Nya.

Pasti tanah di sekitarnya akan berubah menjadi tanah yang subur, sehingga para petani akan kembali bercocok tanam. Untuk memenuhi kebutuhan manusia di sekitarnya. Mungkin terlalu jauh aku untuk memikirkannya, hanya Allah yang tahu apa maksud di balik ini semua.

Jam sudah menunjukkan angka 04.30 ketika semua terjaga dan menikmati indahnya warna abu-abu ini. Empat piring nasi goreng pun siap untuk disajikan. Sisa nasi kemarin masih banyak dan aku menggorengnya, karena mungkin kalau berupa nasi putih tidak akan laku, alias tidak ada yang akan mau memakannya.

Sambil makan kami bercakap-cakap “Hujan abu”, kataku kepada suamiku. “Ia nih semua orang pada masang status gitu di facebook nya. Gunung Kelud meletus”, katanya sambil mengucek matanya. Itulah kebiasaannya tiap pagi, bangun terlambat ketika aku benar-benar membutuhkannya.

“Jam berapa kejadiannya? Kok tidak terdengar sampai sini ya” tanyaku. “Mungkin di sini terlalu berisik, banyak alat-alat elektronik berbunyi” kata suamiku. “Ah, masa sih… apa ngaruh?” tanyaku lagi. “Ya iya lah…” sahutnya. Aku pun menggeleng.

“Aku juga tidak mendengar apa-apa semalam. Padahal aku belum tidur semalam”, kata si bontot pula. “Nanti pasti status di fb banyak mengenai Gunung kelud ni…” kata si sulung. Maklum anak pertamaku ini penggila dunia maya sekarang. “Enak kan, supaya mengalihkan Hari Valentin paling”. Aku pun menyahut begitu.

“Apa sih hari valentin itu?” tanya si kecil. “Oh, itu sih katanya hari kasih sayang, tapi aku rasa setiap hari adalah hari kasih sayang, iya kan Mas?” tanyaku ke si sulung. “Iya, itu hanya budaya barat aja kok. Mereka aja yang gak tau ikut-ikutan. Gak tau ceritanya sih…” itulah komentar si sulung.

“Aku sms bude dulu ya, apa di rumah sana baik-baik saja” aku pun segera mengambil hp jadulku. Aku tuliskan di situ “Mbak piye? Ora opo-opo to? Awu ne sepiro?” (Kak bagaimana? Tidak ada apa-apa kan? Abunya seberapa?) segera aku kirimkan sms itu dan tak lama kemudian terjawablah sudah pertanyaanku “Gak po po, tipis kok. Kabeh sing nang njobo ketutup awu. Mau bengi gludug ke krungu tekan omah. Awu kasar nang ngarep omah sak senti” (Tidak apa-apa, tipis kok. Semua yang di luar tertutup abu Tadi malam gludug terdengar sampai rumah. Abu kasar di depan rumah 1 cm)..

Aku terasa lega sekarang, syukurlah tidak terjadi hal yanng serius di sana, mengingat letak rumah ibuku tidak seberapa jauh dari lokasi kejadian “Jombang”. Kota yang penuh dengan sebuah kenangan yang ingin aku lupakan sebenarnya. Tapi entah kenapa ibuku memilih untuk menetap di sana setelah sekian lama tinggal di Surabaya.

“Waduh, aku lupa belum setrika baju anak-anak. Hari ini waktunya pramuka. Terlena sama peristiwa kelud sampai kelupaan dech”. Segera aku cari baju seragam itu. “Ahh… lupa ni. Sabtu kemarin celana si sulung robek terkena paku jok sepedanya”. Kemudian aku bertanya sambil mulai menyetrika “Mas, celananya robek, beli apa dijahit saja?” Kemudian dipandanginya celana itu.

Dengan berat hati ia bertanya “Apa ibu punya uang?” Aku ganti bertanya “Kenapa?” Kemudian dia menjawab “Kalau bisa beli aja bu, parah nih sobeknya”. Aku menjawab “Baiklah”. Tapi aku belum mandi, abu di luar juga masih berterbangan.

Segera setelah aku selesaikan setrikaanku, aku keluarkan motor di teras depan. Sambil menahan rasa sakit, karena tangan kananku yang habis kecelakaan minggu kemarin belum pulih benar. Aku stater motorku, dan aku pun melaju ke pasar. Tetapi sesampai di depan gang, aku tidak kuat menahan abu vulkanik itu.

Akhirnya aku putuskan untuk kembali pulang mengambil helm. Dan aku pun melaju ke pasar. Sesampai di sana aku langsung menuju ke toko yang menjual baju seragam. “Pak, ada celana pramuka panjang ukuran 30”. Sambil menutupi dagangannya dengan terpal, penjual di toko itu menjawab dengan bahasa kasnya “Sekedap bu nggih”. (Sebentar bu ya).

“Oh, niki wonten bu. Cobi ditingali riyen”. (Oh, ini ada bu. Coba dilihat dulu). Segera aku lihat, aku rasa ini cukup dan tidak usah dicek lagi. Aku terburu-buru ini sudah jam 06.00, aku harus segera berangkat kerja. “Inggih pak, pinten?” (Iya pak, berapa?). “Wolongndoso kaleh, bu”. (Delapan puluh dua ribu, bu).

Di sebelahku ada bapak-bapak sedang mencari masker, di toko itu tidak disediakan. Ada sapu tangan panjang/slayer, harganya empat ribu. Aku sempat berfikir untuk membelinya. Tapi itu terlalu mahal dan aku pun mulai berfikir untuk membeli masker di apotek.

Segera aku pergi dari toko itu, setelah memberikan uang seratus ribuan kepada pemilik toko dan berpamitan “Matur suwun nggih”. (Terima kasih ya). Sambil menghitung uang kembalian dengan berlari kecil. Aku stater saja motor ku dan berlalu menuju apotek.

Di apotek terdapat tulisan yang tidak biasa dipasang, entah apa tulisannya. Mataku yang agak rabun ini, tidak bisa melihat dengan jelas apa yang tertulis di situ. Aku parkir aja motor ku dan mulai berjalan mendekatinya. Ternyata tertulis “Masker Habis”. Langsung saja aku balik kanan dan segera pulang.

Sampai di rumah sudah jam 06.10 itu tandanya aku harus segera berangkat. Aku lemparkan saja celana itu ke si sulung “Coba aja mas, gak usah dipotong ya kalau kepanjangan. Dilipat aja”. Kemudian iya pun menjawab “Inggih bu”. (Iya bu).

“Dik, nanti pakai kaca mata, ini kaca mata nya. Nanti mulutnya ditutup pakai kerudung aja”. Itu yang aku katakanan pada si kecil. “Mas, ini sapu tangan buat tutup mulutnya. Abu di luar sana berbahaya lho”. Tapi jawaban apa yang aku dengar “Paling nanti diliburkan. Semoga”.

Dalam hati aku berkata “Dasar anak-anak. Seneng banget kalau libur. Aku pun juga begitu seandainya itu bisa ku lakukan. Mungkin aku lebih memilih di rumah, dari pada harus keluar rumah untuk bekerja. Andai saja bisa, mungkinkah?”

Tanpa mandi, aku pun segera memakai seragamku dengan cepat dan kupakai semua perlengkapanku seperti jaket, slayer, kaca mata, kaos kaki, sepatu dan helm ku. Hampir seperti kepompong yang berjalan. Lengket semua rasanya badanku ini. Sudah bisa aku bayangkan, pasti suamiku akan berkendara dengan kecepatan tinggi.

Itulah yang setiap hari terjadi, aku tidak tahu kapan dia akan berubah. Membiarkanku melakukan pekerjaanku di pagi hari sendiri dan dia bangun bermalas-malas. Entah apa yang ada di dalam fikirannya. Di jalan angin begitu kencang, sehingga abu ini semakin banyak berterbangan.

Di perempatan aku melihat segerombolan anak muda sedang membagi-bagikan sesuatu. Entah apa yang ada di tangan mereka. Dari dekat barulah aku tahu bahwa mereka membagikan masker gratis. Tapi tetap saja suami ku tidak menepi untuk meraihnya. Karena hari sudah hampir pukul 07.00. Itu tandanya kita sudah akan terlambat.

Sesampai di pabrik tempat kami bekerja ternyata jam masih menunjukkan pukul 06.55. Itu tandanya masih ada waktu 5 menit yang tersisa. Aku masih bisa mandi biar segar. Harusnya tadi berhenti sebentar untuk mengambil masker itu. Sesalku. Tapi aku masih punya satu di laci ku. Anak-anak, aku ingat mereka. Mungkin mereka tidak menginginkan memakai masker. Tapi…

Ya mereka selalu tidak ingin terlihat aneh. Aku heran, terlihat aneh memang sih. Tapi bukankah menjaga kesehatan itu perlu. Apalagi setelah aku baca di facebook ada info: … Abu vulkanik Gn.Kelud komposisinya si 02/silika, mirip bhn industri kaca & merupakan glass hard yg sgt halus, ttp d lihat dg mikroskop tepi & ujungny runcing, jk terhirup akan merobek jaringan paru2 jk kena mata bsa merusak mata mk hati2 lindungi mata & hidung qt.

Masker, oh masker. Hari ini banyak yang harus kukerjakan. Aku sudah lupa tentang masker itu, tapi sore hari setelah selesai. Aku segera teringat. Akhirnya aku putuskan untuk ke Pak Mo, kakek-kakek itu pasti punya stock nya. Pas sekali tinggal 2. Aku ambil semua. Dan aku pun segera pulang.

Sesampai di rumah, rumah begitu kotor berabu dan berantakan sekali. Aku kerahkan kedua bocah itu untuk mengepel lantai. Aku berikan masker itu. Tapi tetap saja mereka tidak mau memakainya. Ternyata semua usaha ku sia-sia, mereka tetap tidak mau memakainya.

Entah apa yang salah, aku tidak tahu… Masker, oh masker

Tidak ada komentar:

Posting Komentar