Halaman

Selasa, 17 Maret 2015

Calon Wakil Rakyat

Ketika itu senja mulai menampakan keelokannya di atas bumi. Dua orang sahabat, Galeng dan Guntur berjalan di atas trotoar jalanan pusat kota menuju arah alun-alun kota. Kota itu termasuk kota kecil. Letaknya di bagian barat daya pulau Jawa. Di sekeliling jalanan pusat kota tersebut banyak terpampang baliho-baliho serta pernak-pernik partai politik. Tak kalah juga potret para calon wakil rakyat yang riuh-ramai menghiasi hampir sepanjang jalanan menuju alun-alun kota. Memang pada saat itu sudah memasuki masa-masa kampanye. Dari mulai jalan-jalan protokol, jalan-jalan desa, sampai gang-gang sempit semua dipenuhi pernak-pernik kampanye. Dalam perjalanan tiba-tiba Guntur menggerutu, “Bosan aku sama semua sampah-sampah ini. Dimana-mana ada baliho-baliho partai politik bersama calon Wakil rakyatnya.”
Galeng hanya senyum-senyum tipis mendengar gerutunya. Dia tahu sahabatnya itu tidak suka dengan politik. Baginya, politik itu hanya sebuah jalan yang ditempuh seseorang menuju keserakahan.
“Biarlah, bung. Mereka cuma ingin dikenal orang banyak. Mereka cuma ingin beriklan saja. Toh, ini cuma siklus empat tahunan doang, kan?” timpal Galeng
“Iya memang. Tapi ini kan merusak pemandangan namanya. Tak mengertikah mereka arti keindahan?” sambungnya dengan meninggikan alis dan mengepalkan tangan kirinya seraya memukulkannya ke telapak tangan kanannya.
Galeng teruskan langkahnya tanpa mengindahkan kekesalan sahabatnya tersebut.

Berselang beberapa langkah, Guntur kembali menggerutu. “Tuh lihat. Ada baliho yang miring sampai-sampai memakan bahu jalan. Ini bahaya. Tak mengertikah mereka arti keselamatan umum?”
Dan terlihat Guntur mencoba membetulkan tata-letak baliho berukuran besar tersebut ke posisi semula. Sia-sia. Baliho tersebut tak kuasa dia angkat. Lagi-lagi Galeng hanya tersenyum simpul melihat tingkahnya. Guntur pun membiarkan baliho tersebut tanpa meneruskan usahanya untuk membetulkan posisi baliho.

“Sebetulnya yang punya ide kampanye model begini itu siapa sih, Leng?” tanya Guntur dengan nada kesal
“Entahlah. Mungkin tim suksesnya, calon wakil rakyatnya, atau mungkin partainya, aku tak tahu. Tapi yang pasti, salah satu aspirasi rakyat telah mereka nodai. Itu pun dilakukannya sebelum mereka menjabat sebagai wakil rakyat loh, Tur.”
“Apakah itu, Leng?” tanya Guntur antusias
“Seperti yang tadi ente bilang barusan, Tur. Apakah mereka tak mengerti arti keselamatan umum? Dan Apa mereka tak mengerti arti keindahan?. Bukankah ente juga rakyat, Tur?” jawab Galeng
“Kalau semenjak kampanye saja mereka tidak memahami tanda-tanda kayak begitu, bagaimana kelak jikalau mereka jadi wakil rakyat?” sambungnya
“Tepat, Leng. Paling-paling yang mereka ketahui cuma aspirasi rakyat tentang kesejahteraan. Huh, lagi-lagi tentang kesejahteraan. Sampai kapan rakyat digombali kata-kata manis kayak gitu terus?” ucap Guntur berapi-api
“Hahaha kata siapa rakyat tidak sejahtera, Tur?”
“Lah, memang benar kan?”
“Calon wakil rakyat juga rakyat kan? Nah ketika mereka sudah terpilih jadi wakil rakyat, mereka itu mewakili dirinya sendiri, Tur. Mereka sejahterakan dirinya sendiri.”
“Ini namanya bencana, Leng!”
“Setuju, Tur. Jadi, bencana itu tidak melulu soal banjir, angin topan dan tanah longsor. Ane sih lebih cenderung suka menyebut itu sebagai fenomena alam. Karena alam tidak pernah salah. Gejala politik macam begitulah bencana sesungguhnya”
“Astaga”
“kenapa astaga? Eh, mereka sendiri kan juga rakyat? Boleh dong mereka mewakili aspirasi mereka sendiri. ingin dianggap, ingin dipandang, ingin punya makna dalam hidup. Dulu cuma ikut karang taruna, sekarang jadi Wakil Rakyat, yah namanya memburu kemajuanlah.”

“Apa sih yang mereka tahu tentang kemajuan, Leng?”
“Entahlah. Mungkin pembangunan jalan di desa-desa, pembangunan mall atau gedung-gedung tinggi dan mewah.”
“Cuma itu? Apa mereka tidak pernah baca buku-buku tentang pemerintahan, tata-negara, atau buku-buku sejarah, Leng?”
“Aku tak tahu pasti, Tur. Mungkin terlalu berat.”
“Mereka mungkin lebih suka baca majalah fashion, Leng.”
“Loh kok bisa?”
“Ente lihat saja sendiri bagaimana modisnya para wakil rakyat kita, Leng. Ya, memang gak semuanya kayak begitu, cuma sebagian. Tapi yang sebagian itu yang justru mewakili citra para wakil rakyat kita, Leng.
“Ck.. ck.. ck.. pandai sekali ente menganalisa tanda, Tur”
“Aku kan rakyat, Leng. Idealnya harus lebih pandai dari wakil rakyat, dong? Hehe”
“Astaga.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar